Sebuah lagu adalah perpanjangan identitas emosional penulisnya. Polka Wars, kampiun rock alternatif yang telah berdiri sejak 2011 dengan jejak dua album penuh, Axis Mundi (2015) dan Bani Bumi (2019) serta sebuah mini album EPNY (2017), mencetak single terbaru yang menumpahkan kegamblangan sensibilitas mereka sebagai band. Kehilangan gitaris Billy Saleh yang mengundurkan diri pada 2020 silam mengubah perangai lagu-lagu gubahan mereka secara personal. Diawali dengan terbitnya single “Tien Shinhan” dua tahun silam, kini Polka Wars punya “Phases of Hue”, sebuah nomor rock yang tidak saja garang dan berat, tapi juga noir dan muram menandakan proses pelepasan beban konseptual yang selama ini dipikul.
Sekaligus mengumumkan kepada kita pakem solid mereka hari ini, sebagai sebuah unit trio. Tidak ada lagi mitos yang dibuat-buat oleh Polka Wars, terhitung kini hingga ke depannya semua akan terekam dan tersaji secara telanjang dan transparan.
“Phases of Hue” sudah bisa diputar di seluruh layanan musik digital mulai 11 November 2022.
Berikut petikan wawancara dengan ketiga personel Polka Wars: vokalis/gitaris Karaeng Adjie, bassis Xandega Tahajuansya, dan dramer Giovanni Rahmadeva:
Lewat single “Phases of Hue” tampak Polka Wars tengah menjejaki sebuah fase baru dalam karir bermusiknya.
Xandega Tahajuansya (XT): Ya, lagu “Phases of Hue” sebenarnya adalah titik tolak dari bentuk musik Polka Wars yang sebelumnya di mana kami berusaha untuk keluar dari format Bani Bumi, sekaligus menjadi transisi menuju format trio seperti sekarang ini. Meskipun lagu ini ditulis di saat Billy Saleh masih bergabung, namun perbedaan yang tersaji cukup terasa. “Phases of Hue” punya emosi yang lebih mentah dari segi lirik maupun musik, karena kalau disimak dari era Axis
Mundi sampai Bani Bumi, inilah lagu paling rock dan heavy yang pernah kami bikin. Giovanni Rahmadeva (GF): Secara musikal, bagi kami ini merupakan fase yang cukup eksploratif dalam hal emosi. Sementara kalau ditilik dalam hal rentang karir, bisa dibilang kami tidak terlalu banyak berpikir untuk menyelesaikan proses penciptaan “Phases of Hue”. Kami benar-benar hanya ingin meledakkan sisa-sisa perasaan yang tertinggal lewat Polka Wars sebagai
kendaraannya. Jadi benar jikalau dikatakan “Phase of Hue” adalah lagu paling keras yang dimiliki Polka Wars?
GR: Benar sekali. Karena pas rekaman juga kami bertiga melakukannya dengan all out. Lagu ini merupakan materi mentah yang tidak masuk ke Bani Bumi. Secara musikal pun lagu ini mengandung nada yang berbeda, hanya progresi dan akor ritem saja yang sama sehingga kami gas penuh dan bawa heavy terus. Dan kami merancangnya menggunakan metode jamming
serta demi menempuh orisinalitas, kami sengaja tidak mendengarkan referensi musik-musik barat. Polanya persis seperti ketika dulu kami menulis lagu-lagu untuk Axis Mundi.
XT: Terdapat dua faktor penting dalam urusan perkembangan emosional sewaktu kami merekam “Phases of Hue”. Yang pertama, bahwa kami telah sadar dan menerima sepenuhnya kondisi sebagai anak muda yang telah beranjak dewasa sehingga ekspresi yang keluar begitu apa adanya, tanpa ada pretensi sedikit pun. Yang kedua, lagu ini dan terutama calon rilisan EP
kami nanti akan menjadi proses muntah yang murni. Oleh karena itu tidak heran jika dua lagu di sana yang telah kami terbitkan sebagai dua single awal terasa seperti ini: “Phases of Hue” lebih galak, sedangkan “Tien Shinhan” cenderung slebor.
Ceritakan proses penulisan dan perekaman single “Phase of Hue” di mana kalian kembali
bekerja dengan produser Lafa Pratomo (Danilla, The Panturas, Sal Priadi, Nadin Amizah).
XT: Kami nyaman bekerja dengan Lafa Pratomo, merasa satu frekuensi dengannya. Dia adalah produser jempolan. Kami menumbuhkan “Phase of Hue” hingga membuat jiwa dari lagu tersebut mencuat keluar. Bisa dibilang dia adalah personel keempat Polka Wars sebagai mentor. Dalam menulis lagu biasanya gue akan berkontribusi melalui referensi, sedangkan
Aeng (Karaeng Adjie) menyuntikkan jiwa, dan Deva (Giovanni Rahmadeva) memberikan gambaran abstrak soal emosi yang dibutuhkan. Sementara Lafa, dia akan menyatukan semuanya, semacam menambahkan sel-sel yang kurang agar lagunya termasak dengan baik, memiliki sonik tekstur yang matang.
Salah satu bagian terbaik dari “Phases of Hue” terletak di outro yang diaransemen secara
megah, memberi nuansa anggun yang dibutuhkan oleh lagu itu.
XT: Bagian itu merupakan perkawinan emosi yang berasal dari emosi lirikal Aeng dengan sentuhan abstrak milik Deva. Juga hasil kontribusi terakhir dari Billy, ketika dia memainkan solo gitar di saat klimaks chorus selepas crescendo terakhir.
GR: Khusus outro gue menginginkan sesuatu yang epik namun tetap gampang ditangkap. Lalu gue bikin aransemen koor ditambah susunan teriakan, yang kemudian diakomodasi Lafa dengan menambahkan atmosfer dreamy. Akibatnya tercipta ledakan emosi di bagian akhir lagu. Berbeda dengan Bani Bumi yang mayoritas lagunya berbahasa Indonesia, kali ini di “Phases of Hue” kalian bernyanyi dengan lirik Inggris, begitu pula sebelumnya di single “Tien Shinhan”.
Karaeng Adjie (KA): Menulis lirik Indonesia atau Inggris, semuanya tergantung dari kebutuhan penempatan emosional saja. “Phases of Hue” menjadi semacam proses katarsis buat gue secara pribadi. Gue mengumpulkan kembali potongan-potongan luka yang tercecer, dan coba menyembuhkannya dengan menuliskannya sebagai sebuah lagu. Itu akar “Phases of Hue”,
mengeluarkan semua energi buruk dari sistem tubuh gue.
XT: Lirik bahasa Inggris merupakan perwujudan emosi mentah kami yang tanpa tedeng aling- aling jika dibandingkan dengan Bani Bumi. Kami tidak berusaha melakukan pretensi denganmenelurkan mitos dalam lirik “Phases of Hue”. Saat ini kami ingin memperlihatkan sisi keindahan dari sebuah kerapuhan.
Seberapa jauh album Bani Bumi dengan konsep kolosalnya mempengaruhi cara kalian menulis lagu hari ini?
XT: Proses pendewasaan kami sebagai sebuah band dicapai melalui album itu. Sekarang kami telah menemukan siapa Polka Wars yang sebenarnya. Di Bani Bumi, seperti halnya kebanyakan penyakit album kedua, saat itu kami berusaha ingin menampilkan hal-hal yang istimewa, ingin kedengaran ‘heboh’ dengan segala macam pretensi yang sengaja ditonjolkan. Kasarnya, Polka Wars harus memamerkan ‘sesuatu’. Kemudian Billy cabut, membuat kami jadi mengevaluasi diri. Ke depannya, lewat “Phases of Hue” kami ingin menampilkan Polka Wars yang jujur apa adanya. Lagu-lagu yang akan ditulis selanjutnya bakal total berasal dari perasaan kami yang sebenarnya sebagai band, tanpa filter. Dan tanpa Bani Bumi, Polka Wars tidak akan sampai pada ketulusan pola pikir seperti itu. And we regret nothing.
KA: Gue baru saja terbangun setelah melalui sebuah perjalanan emosi yang panjang, bahwague baru mengenal diri sendiri dalam dua tahun terakhir ini, khususnya paska terbitnya Bani Bumi di mana gue kehilangan kejujuran dalam mengekspresikan karya. Inilah bentuk asli Polka Wars: “Tien Shinhan” dan “Phases of Hue”, dimulai dengan dua single tersebut gue akan menulis lagu-lagu yang sesuai dengan perasaan batin, dibanding memaksakan sesuatu yang konseptual. Capek harus berpura-pura mengenakan baju zirah terus menerus. Sekarang gue akan tampil telanjang.
GR: Jujur, Bani Bumi banyak memberi beban emosional. Dari mulai sesi rekaman hingga ketika membawakannya di atas panggung, rasanya berat banget. Maklum sewaktu mengerjakannya kami sedang berada dalam kondisi mental yang ambruk dan sangat ingin membuktikan kepada publik bahwa Polka Wars adalah ‘sesuatu’. Untungnya album itu mengandung lagu-lagu yang memiliki ‘doa’ positif.
Merilis EP selepas album penuh sepertinya menjadi tradisi tersendiri bagi Polka Wars. Sewaktu
EPNY (2017) keluar, itu terjadi paska terbitnya Axis Mundi sehingga terkesan semacam
menyatukan kepingan yang terpisah sebelumnya.
XT: Kami memang butuh pelampiasan muntahan transisi di antara album. Sebab bikin album penuh itu susah dan penuh tantangan yang membutuhkan komitmen, kasarnya sangat menguras emosi. Sementara EP lebih menyerupai ‘pembersihan’ emosi. Di dalam EPNY setiap empat lagunya punya gaya yang berbeda, begitu pula dengan EP berikutnya nanti. Progresi
“Phases of Hue” rasanya seperti dua single awal kami dulu, “Coraline” (2014) dan “Sanctuary”(2013). Jadi bisa dibilang Polka Wars selalu lahir kembali melalui rilisan EP setelah menjalani proses pembuatan album penuh yang berat.
GR: EP adalah pembebasan, keluar dari pakem yang secara tidak sadar kami buat. Dengan adanya EP kami jadi punya ruang eksperimen untuk menjajal hal baru, yang mungkin mampu memicu terciptanya materi-materi baru untuk album penuh berikutnya. Untuk EP kedua Polka Wars yang bakal terbit nanti akan banyak lagu-lagu ‘meledak’. Lagu yang laidback pun bakal ada. Sejak kami sudah belajar cara menulis lagu yang baik dan benar lewat dua album pertama,
EP nanti terdengar lebih bebas. Gaya bernyanyinya bisa menyeret atau melolong sekalian. Tidak harus merdu. Intinya, semakin tua semakin suka-suka.