Sepertinya tidaklah berlebihan untuk menyimpulkan bahwa masa depan musik rock Indonesia berada di tangan seorang Aldrian Risjad. Bagaimana tidak? Pada tahun 2022, solois rock yang kini berusia 25 tahun ini berhasil membawa pulang piala AMI Award untuk kategori Artis Solo Pria/Wanita Rock/Rock Instrumentalia Terbaik lewat salah satu lagunya yang bertajuk “Berlari Pelan di Kota yang Cepat”, yang kemudian menobatkannya sebagai solois pria termuda yang pernah memenangkan kategori prestisius tersebut. Melaju ke tahun berikutnya, Aldrian Risjad siap mengukuhkan eksistensi dan dominasinya di skena musik rock Indonesia dengan album panjang perdana yang bertajuk Jangan Padam.
Meskipun semua musisi muda selalu memimpikan lahirnya album perdana mereka, bagi Aldrian Risjad, kelahiran album Jangan Padam ini menyelimutkan makna yang lebih istimewa. Sang musisi yang berbasis di Jakarta ini pun mendeskripsikan album Jangan Padam sebagai bentuk “pertaruhan” terbesar di dalam karir bermusiknya.
“Terus terang saja, banyak hal yang aku ‘pertaruhkan’ lewat album Jangan Padam ini,” tutur Aldrian Risjad. “Album ini memendam berbagai macam ‘pertaruhan’ dari segi kreativitas, dari segi emosi, dari segi personal, dan bahkan dari segi finansial. Aku memahami betul bahwa terdapat ekspektasi besar yang siap menyambut kedatangan album ini, baik ekspektasi dari luar maupun ekspektasi dari diri saya sendiri. Terlebih lagi, tema yang aku usung di album ini bisa dibilang cukup ‘belantah’.”
Terdiri dari 10 lagu, album Jangan Padam secara konsisten (sekaligus blak-blakan) memposisikan Aldrian Risjad sebagai “sang pemimpi” yang berjuang sekuat tenaga untuk mewujudkan impiannya untuk menjadi seorang “pujaan massa” – impian yang sangatlah raksasa namun nyaris mustahil untuk dimanifestasikan. Dirilis di bawah naungan label Sun Eater (yang juga menaungi rilisan para musisi kancah alternatif seperti Hindia dan Mantra Vutura), Jangan Padam turut melibatkan kontribusi produksi dari sosok kontemporer seperti Ahmad Ilyas, Enrico Octaviano, Luthfi Adianto, dan VTLS.
Dengan narasi yang terdiri dari separuh otobiografi dan separuh dongeng urban, Aldrian Risjad pun mengakui bahwa album Jangan Padam menghadirkan ketelanjangan emosi yang belum pernah dia eksplorasi sebelumnya. “Terdapat keseimbangan yang cukup kompleks yang hendak aku capai sepanjang penggarapan album ini,” lanjut Aldrian Risjad, yang sebelumnya pernah merilis mini album yang bertajuk Interrobang pada tahun 2020. “Di satu sisi, aku bertekad untuk menuturkan seluruh perjuangan hidup aku secara apa adanya di album ini. Namun, di sisi lain, aku harus memastikan bahwa setiap lagu di album ini bisa menciptakan resonansi dengan setiap pendengar yang pastinya memiliki perjuangan hidup yang berbeda-beda. Di sini, aku berusaha menjamin bahwa faktor ‘kejujuran’ dan faktor ‘karisma’ senantiasa berimbang.”
Hidup masing-masing pastilah berbeda, namun tidaklah sulit untuk menjalin koneksi emosi dengan setiap lagu yang menyusun album Jangan Padam. Balada rock “Berlari Pelan di Kota yang Cepat” mengabadikan semangat bertahan hidup Aldrian Risjad di tengah hutan rimba metropolitan. Sementara itu, rapsodi rock nan lincah di lagu “Menang Jadi Abu” menjadi surat tantangan dari Aldrian Risjad bagi siapapun yang hendak menghakimi impian setinggi langitnya. Para audiens musik yang mengharapkan sesuatu yang lebih mellow pastinya akan menyukai lagu “Ingin Kembali” seraya Aldrian Risjad merindukan keluguan di masa lampau.
” Bila boleh aku ringkas, dari segi narasi, album Jangan Padam ini menceritakan tentang ketegangan yang terjadi antara ‘ekspektasi’ dan ‘realita’,” celoteh Aldrian Risjad. “Aku yakin bahwa para pendengar di luar sana, khususnya mereka yang berusia kisaran 18 tahun hingga 27 tahun, pasti memahami betul bahwa ketegangan seperti ini selalu menjadi konflik batin yang rasa-rasanya tidaklah berujung. Menurutku, ini adalah narasi yang sangat personal, namun anehnya juga sangat universal di zaman sekarang.”
Lagu penutup album ini, “Bayang Dalam Cermin”, dipilih Aldrian Risjad sebagai focus track karena keyakinannya bahwa lagu tersebut sanggup “menghabisi ” hati dan emosi para audiens. “Dari semua lagu yang ada di album ini, ‘Bayang Dalam Cermin’ memang adalah lagu yang paling menguras emosi,” sambung Aldrian Risjad. “Terlepas demikian, aku juga melihat lagu ini paling merefleksikan sudah seperti apa tumbuh kembangku sebagai seorang solois, penulis lagu, sekaligus produser musik. Melahirkan lagu ini merupakan sebuah pencapaian pribadi bagiku.”
Terakhir namun tidak kalah penting, album Jangan Padam menjadi bentuk pembuktian dari seorang Aldrian Risjad bahwa seorang musisi sanggup menciptakan gubahan karya yang idealistik tanpa melupakan inklusivitas. Di era modern ini, sang musisi pun meyakini bahwa musik rock tidak hanya menjadi konsumsi spesifik bagi pecinta musik rock semata.
“Aku tahu betul bahwa, pada saat ini, solois muda yang berkecimpung di genre musik rock masih sangat langka. Akan tetapi, bukan berarti musik rock tidak lagi sanggup untuk menerobos hati para generasi muda. Bila teman-teman mendengarkan album Jangan Padam ini, kalian akan memahami maksudku seperti apa,” tutup Aldrian Risjad.