Seberapa pentingkah kota dibangun oleh orang-orang yang mendiaminya? Tentu ini menjadi pilihan yang bisa segampang memasukan ujung jari ke dalam hidung misalnya. Ada yang mengamini, ada yang tak sama sekali tersentuh, atau ada yang mengiyakan dan mengamini namun tak bergerak apalagi bertindak misalnya.
Kota, bukan lagi hanya sebatas pergerakan keluar masuk orang yang kadang melebihi jumlah orang yang mendiaminya. Aktivitas ekonomi yang padat membuat kota dan hal-hal yang ada di dalamnya tergerus kepentingan hilir mudik orang-orang yang mengais rejeki disana. Masuk saat penghuni kota amsih terlelap dan pergi saat kota masih terjaga untuk menyambut esok pagi. Kota, tak lagi manis seperti mimpi banyak orang, kota kadang menjadi lebih kejam dibanding mimpi-mimpi buruk sekalipun.
Dengan banyak macam kondisi yang menyelimutinya, kota, seberapapun luasnya, tetap penting untuk terus dibangun, dibentuk dan diwarnai dengan segala hal tentang keindahan dan peluang untuk menjaga asa cita-cita. Di banyak tempat disudut kota, masih tak terhitung jumlahnya, anak-anak yang menari dan tertawa, menertawai hidup dan kondisi keluarganya, memilih sosok idola dan panutannya, sambil mangut-mangut saat diberi selembar rupiah atau segepok penganan. Masih banyak pemusik jalan yang terus mengasah tali vokalnya untuk menyanyikan banyak hits yang digandrungi orang, demi membawa pulang beberapa lembar ribuan untuk ongkos makan dan hidup anak dirumah.
Terlalu banyak hal yang mendasari kota, peradaban yang terus tergerus didalamnya juga fisik bangunan yang terus mencakar langitnya, namun sesungguhnya, kota yang beradab sesunguhnya bisa dibentuk lewat bunyi.
Ya, seni adalah semujarabnya obat dan penawar rasa. Bunyi adalah hal yang dibutuhkan untuk tetap seirama, menjaga pandang dan meretas banyak hal untuk berusaha membangun menumen kehidupan, untuk keberagaman yang semoga tetap terjaga.
“Buku ini (Rock in Celebes dan 100 Tahun Musik Populer Makassar) jadinya penting…bukan hanya tentang musik, tapi bagi orang-orang yang ingin tau bagaimana kota dibentuk lewat bunyi..” demikian yang dikatakan Anwar ‘Jimpe’ Rahman, seorang praktisi budaya sosial, penulis dan pengarsip berita yang luar biasa berdedikasi.
100 tahun budaya kota, terhitung sejak WR. Soepratman dengan band Black and White Jazz mulai tampil di klub Societeit de Harmonie (atau yang kini dikenal dengan nama Gedung Kesenian) juga acara-acara penting masa kolonialisme, juga ketika Hoo Eng Djie menjejakkan kaki ke studio rekaman pada akhir 1930-an dan mempopulerkan lagu “Ati Raja” ke penjuru Nusantara, kemudian bagaimana kota diperkenalkan lewat banyak ragam pertunjukan seni budaya, bukan hanya musik tentunya, festival-festival musik era 80 dan 90-an, hingga kaitannya dengan pelaksanaan Rock in Celebes yang digelar sejak 2010 hingga kini.
Rock in Celebes yang diinisiasi beberapa kawan adalah sebuah gerakan terstruktur untuk coba mengambil bagian dari hal besar tentang membangun peradaban kota tersebut diatas. RIC adalah (awalnya) diniatkan untuk memberi kesempatan bagi banyak orang, bukan hanya musisi. untuk tetap merasa bagian dari segala keindahan yang kita banggakan sekarang bernama Makassar. Dari sudut Barat ke Timur hingga Selatan ke Utara kota, RIC selalu berusaha untuk memberi tempat bagi siapapun untuk berkontribusi maksimal untuk kota, untuk Makassar dan untuk kehidupan.
Dapatkan segera buku ini di gelaran ke-12 Rock in Celebes, mari bersuara untuk kita semua.
andi muhammad ikhlas