Melihat Ke Dalam Diri Sebelum Berbicara Ke Luar ; Merefleksikan Diri Pada EP ‘Persona’ Dari Matilda

Sebelumnya saya ingin meminta maaf dan bersyukur. Permintaan maaf saya layangkan untuk Matilda, unit Rock dari Bali yang saya janji akan menerbitkan review EP mereka di salah satu webzine pada bulan Oktober tahun lalu. Saya salah. Terlalu bergantung pada jari jemari orang lain beserta janji-janji kawe. Kemudian ucapan syukur saya panjatkan kepada sang Pencipta. Karena-Nya, saya masih diberi niat dan sedikit sisa bakat untuk mereparasi sedikit artikel ini.

Setelah akhirnya berhasil menambahkan dua huruf tambahan di belakang nama panjang, bangun pagi keesokan harinya dijamin asique. Lini masa di hampir semua media sosial rupanya nyaris seragam. Dari berita bencana, upaya untuk mempercantik diri yang bermuara ke pembohongan massa yang berujung pada blablabla dan lain-lain. Rasa iba dan eneg berbaur.Semua perlahan membaik ketika saya sadar bahwa kemarin, di hari yang banyak dibenci, Senin, saya diberi hadiah sekeping EP yang diberi tajuk ‘Persona’ dari ‘Matilda’ yang dirilis pada 6 Oktober 2018 silam. Unit Rock dari Bali yang dihuni oleh Ewa Pradinata (vokal), Aditya Pratama (gitar), Abdullah Zainul (bass), dan Turah (drum), ysng sudah terbentuk pada akhir 2015.

Unit Rock ini beberapa waktu lalu tampil perdana di tanah Selatan Sulawesi, sekaligus memperkenalkan EP ‘Persona’ beberapa waktu yang lalu pada sebuah event musik dari kota yang dibawa ke hutan. Ya, nama mereka ‘Matilda’. Nama tersebut bersumber dari kesukaan Aditya Pratama akan film yang berjudul Matilda, dan Zainul yang suka lagu yang berjudul Matilda Mother milik Pink Floyd. Maka nama Matilda dipilih dan dibaptis sebagai nama untuk band mereka hingga saat ini. Sangat lembut untuk sebuah band yang berpaham Rock dengan racikan Psychadelic ke dalam musik mereka bukan? Namun, sekiranya sebuah band berdaulat atas nama apa saja yang hendak mereka pakai. Lalu apa hak kalian untuk tidak setuju akan nama itu?

Tanpa mandi dan basa-basi, saya menuju ke tempat pemutar CD bersemayam.Mendengarkan musik di pagi hari jauh lebih baik daripada mendengar celotehan berita politik. Cukup. Tinggalkan. Saya membiarkan Restrain menyapa. Menghangatkan ruangan yang saya tinggal tidur. Bebunyian delay gitar yang dimainkan Aditya Pratama menyeret ‘Falling Away’ nya Korn ke dalam konsentrasi saya. Seiring dengan riff yang tersusun dan vokal yang merangsek masuk pada detik ketiga puluh enam, saya perlahan mulai suka bagaimana band ini memainkan musiknya. Masuk pada menit keempat, kali ini dengan penuh penghayatan saya merasa kehadiran Black Sabbath hingga akhir lagu.

Kali ini giliran Dimensia. Lirik untuk EP ini telah terbuka lebar setelah track pertama saya biarkan menjadi penghantar. Mengutip potongan liriknya : Cloud is burning in front of the sun. Saya membayangkan diri saya terperangkap macet dan debu di Jalan A.P. Pettarani pukul 13.00 WITA menggunakan sepeda motor. Sedikit lebih agresif dari track pertama, Dimensia cukup mengusir suntuk yang samar-samar say hi. Baru track kedua, Brandon.  Apaji?! Menit kelima detik ke sembilan belas akhirnya part lead gitar datang layaknya tentara berkuda menyelamatkan dari suntuk yang bergentayangan. Menjelang akhir lagu, vokalis datang dengan raungannya ditambah dengan permainan bass dan drum yang variatif layaknya pasukan tambahan yang datang saat perang hendak berakhir, untuk menjatuhkan mental musuh yang sudah kewalahan. Bye, suntuk.

Tensi meninggi di lagu Perverse. Track ketiga yanng menceritakan bagaimana perbedaan yang niscaya itu dibesar-besarkan hingga kepunahan banyak melahap jiwa dan kematian yang tak terhindarkan harus diamini secara sepihak. Track ini tidak adil bagi saya yang mengharapkan tidak berhenti di empat menit, dan empat puluh enam detik. Rasanya sama seperti ditinggal perlahan saat lagi sayang-sayangnya. Hiyya!

Lagu yang selesai dikerjakan pada pertengahan 2016, Astral Projection, menjadi track keempat di EP ‘Persona’. Jelas ada yang berbeda dari tiga track sebelumnya. Perbedaan tersebut terdeteksi pada warna dan karakter vokal, dan distorsi pada gitar. Secara keseluruhan, Astral Projection terdengar lebih renyah. Pada akhir lagu, saya dibuat tersenyum dengan isian manis oleh Turah yang mengisi divisi drum. Belakangan saya tahu, lagu ini adalah lagu pertama yang direkam oleh Matilda pada pertengahan 2016. I can feel the fire, dudes!

 Sebagai penutup perjalanan Psychadelic Rock saya yang awam ini dengan Portal, lagu yang direkam di awal 2017. Band ini menemukan warna yang sama seperti tiga track awal. Terutama untuk warna dan karakter vokal. Tunggu dulu. Ewa Pradinata selaku frontman punya skill yang serius. Untuk ukuran vokalis rock dengan jangkauan suara yang tinggi, entah menggunakan bantuan efek atau apapun, saya tidak peduli. Saya tetap menjagokan Ewa. Ewako! Track penutup yang epic! Entah disengaja atau tidak, itu urusan mereka bersama dewi Fortuna.

Untuk bagaimana cara mereka memadukan permainan antar instrumen, mereka ahlinya. Ewa Pradinata cukup lihai dalam memilih dan mengolah vokal yang ditopang dengan efek delay sehingga menghasilkan suara yang lebar tanpa tumpang tindih dengan suara gitar, bass, dan drum. Bagi kalian yang belum kenal mereka secara personal, dan mendengarkan keseluruhan EP ini dengan penuh penghayatan, kalian mungkin akan mulai membayangkan kalau semua personil di band ini berambut gondrong dengan kumis yang tebal dengan setelan jacket jeans yang kumel, baju tie dye, mungkin ada yang menggunakan kaca mata ala John Lennon, bercelana cutbray, dan bersepatu “semua bintang”.

EP layaknya cermin untuk mereka secara personal, dan band ini tentu saja. “Album (EP) ini ya sebenarnya untuk kita (personil band) secara personal, jugasebagai wadah untuk merefleksikan masing-masing diri kita sebagai sebuah band. Banyak band yang mengeluarkan album berbicara tentang sesuatu yang besar seperti negara dan sebagainya tanpa mengetahui mereka itu sebenarnya siapa. Matilda di album (EP) Persona ini, selain merefleksikan diri masing-masing, juga sebenarnya menjelaskan siapa dan bagaimana sih itu Matilda. Kami lebih suka memulai sesuatu itu dari dalam dulu. Baru ke luar” ujar Abdullah Zainul. “Makanya artwork yang dikerjakan oleh a.n.k.a.r.a juga seperti ini. Ada wanita yag hendak memanah, tapi busur panahnya itu udah tertancap lebih dahulu dibayangannya. Artinya, sebelum mengatakan atau berbuat sesuatu, lihat dulu diri kita siapa. Biar tidak merugikan diri kita sendiri kedepannya” Aditya Pratama menambahkan.

Saya jadi teringat kalimat Gnothi Seauton. Kalimat yang diajarkan oleh seorang filsuf terkenal, Socrates. Artinya, kenali dirimu sendiri. Kalimat perintah yang susah-susah gampang untuk dilaksanakan. Susah jika dalam keadaan malas maksimal, gampang jika sedang mengetahui sebentar lagi gajian. Waktu berleyeh-leyeh dan ber-mager-ria usai. Realita menyapa. Saatnya melihat ke dalam diri. Saya ternyata harus mandi sebelum memetakan hendak bersosialisasi ke mana hari ini.

Kembali ke masa ini dengan semua dinamika yang yaaaahhhh begitulah, rasanya sangat relate. Memang lebih gampang menilai dan menghakimi orang lain daripada diri sendiri. Bicara dahulu, berpikir belakangan, minta maaf sambil nangis-nangis kemudian. Mendingan sedikit bicara, langsung dotisaja!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top