Apa yang kita berikan kepada alam akan kembali ke kita. Plastik atau sampah yang kita buang di laut saat liburan bisa saja kembali ke kita. Itu yang diyakini oleh ‘The Rain’, kelompok band pop rock asal Yogyakarta. Pandangan itu menjadi landasan ketika membuat lagu berjudul “Laut Bukan Tempat Sampahmu”.
….Tapi laut bukan tempat sampahmu, Jangan kotori seenak jidatmu, Biar kenangan kau tinggalkan bukan palstik bungkus makanan, Laut lebih baik tanpa sampahmu….
Penggalan lagu tersebut benar-benar terjadi di keseharian kita. Kebiasan membuang sampah tidak pada tempatnya, seolah sudah membudaya. Ingat, sampah tidak melulu ada di lokasi pertama kali dia dibuang. Pergerakan sampah tidak bisa ditebak. Sampah bisa berlabuh di hulu sungai, hingga akhirnya mengendap di laut terdalam.
Sampah plastik telah menjadi musuh besar ekosistem laut. Berita soal sampah di perairan Bali, misalnya, terdengar sampai ke belahan dunia lain, dan mencoreng citra pariwisata lokal serta nasional. Setiap tahun setidaknya 8 juta ton plastik terbuang ke laut, setara dengan membuang isi satu sampah truk ke lautan setiap menit. [1]
Polusi plastik berbahaya bagi kehidupan laut, termasuk burung laut, kurakura, dan paus. The United Nations Environment Programme (UNEP) memperkirakan plastik di laut bertanggung jawab atas kematian ratusan ribu makhluk laut setiap tahun. [2]
Lagu karangan The Rain menjadi sebuah sentilan bagi masyarakat dan para pemangku kepentingan. The Rain tidak sendirian dalam mewujudkan sebuah perubahan besar. Mereka berkolaborasi bersama Hervan Budiman (‘Bebaskan Bumi dari Sampah’) dan Pandu Waliyyu (‘Laut Kekasihku’) dalam sebuah mini album bertajuk “Kolasea.”
Album Kolasea sendiri adalah bagian dari kampanye publik penyelamatan laut yang sedang digalang oleh Greenpeace Indonesia bertemakan “I Love My Ocean.” Sebagai informasi, Greenpeace Indonesia merupakan organisasi kampanye lingkungan yang independen, dengan pendanaan berasal dari donasi individu, dan fokus kampanye di isu hutan, iklim dan energi, laut dan urban.
Lewat lagu-lagu yang mereka ciptakan, Greenpeace Indonesia berharap kesadaran masyarakat untuk menjaga laut beserta ekosistemnya bisa terbangun. Para pemangku kepentingan pun bisa bergerak cepat untuk memulihkan wilayah pesisir dan laut yang rusak.
Ancaman terhadap laut Indonesia sangat beragam. Baru-baru ini, tumpahan minyak mengotori perairan lepas pantai Karawang. Tumpahannya menyebar hingga wilayah Kepulauan Seribu. Petaka tersebut bisa terjadi karena sebuah sumur minyak yang dikelola oleh Pertamina Hulu Energi diketahui mengalami kegagalan operasional, bocor tidak terkendali. Pertamina sudah mengumumkan keberhasilan menangani petaka tersebut. Namun, pada 15 November, tumpahan minyak kembali terlihat di pesisir pantai utara Karawang. [3]
Tak hanya itu, terumbu karang juga harus menjadi perhatian kita. Pasalnya, kesehatan sejumlah lokasi terumbu karang terus menurun karena sejumlah faktor, seperti penangkapan ikan yang tidak berkelanjutan hingga reklamasi. Soal terumbu karang, tahun ini, Greenpeace Indonesia memberi perhatian khusus.
Greenpeace bersama dengan Walhi Sulawesi Selatan dan Marine Science Diving Club (MSDC) Universitas Hasanuddin serta komunitas lainnya di Makassar, berusaha membangun kesadaran masyarakat setempat akan pentingnya menjaga keindahan terumbu karang Kepulauan Spermonde. Kampanye #SaveSpermonde pun dijalankan untuk mendorong perhatian masyarakat Sulawesi Selatan, sekaligus pemerintah daerah setempat serta pemerintah pusat. [4] Spermonde bisa menjadi titik awal penyelamatan terumbu karang di wilayah-wilayah lainnya di Indonesia.