Jadi gini! Biasanya ketika habis nonton sebuah film, saya bisa langsung mereviewnya tanpa banyak kendala. Tetapi di film Bumi Manusia ini, saya butuh sehari semalam memikirkan bagaimana saya akan menyampaikan review secara jujur tapi obyektif. Sebab sehabis menonton filmnya saya merasa sedikit ambigu.
Tadinya mau nonton film ‘Perburuan’ yang tayang bersamaan dengan Bumi Manusia, film yang juga adaptasi novel Pramoedya Ananta Toer ini dimainkan oleh aktor Adipati Dolken, tapi pas liat poster filmnya udah ilfil duluan ngeliat gambar Adipati dengan rambut palsunya yang terlihat sangat palsu, langsung kebayang filmnya kayak apa, meskipun kumis palsu Iqbal Ramadhan di Bumi Manusia hampir sama buruknya.
Akhirnya saya memilih menonton Bumi Manusia yang tadinya sempat ragu, karena saya tidak begitu menggemari film film Hanung Bramantyo. Akan tetapi film ini adalah ‘Bumi Manusia’, novelnya adalah sebuah mahakarya yang dimiliki Indonesia, meskipun di zaman orde baru dilarang dan penulisnya dipenjara.
Difilmkannya Bumi Manusia adalah sebuah penantian panjang, terlebih bagi yang sudah membaca novelnya puluhan tahun lalu, termasuk yang membacanya secara sembunyi sembunyi. Ekspektasi yang tinggi tak terhindarkan. Pembaca novelnya menginginkan filmnya sesempurna novelnya, banyak yang sangsi atas terpilihnya Hanung di kursi sutradara. Padahal sebelumnya, Hollywood mengincar Bumi Manusia untuk difilmkan, tak tanggung tanggung akan disutradarai oleh nama besar, Oliver Stone, tetapi mbah Pram menolaknya.
Di Indonesia, rumah produksi Miles Film pun pernah berencana membuat Bumi Manusia tetapi gagal juga. Akhirnya dengan perjuangan yang gigih oleh Hanung, penyutradaraan jatuh ketangannya, meskipun ditolak berkali kali oleh almarhum mbah Pram.
Akhirnya saya menonton Bumi Manusia, agak surprise, dibagian awal plotnya hampir persis dengan di buku, mengalir indah dengan warna warna yang cerah, saya akui salut dengan Hanung yang mampu mendelivery dengan baik. Sepertinya ini film terbaik Hanung, mungkin karena banyak yang menyangsikannya (termasuk saya) akhirnya Hanung pol polan menggarapnya sebagai pembuktian diri. Surprise lainnya adalah belum pernah ada film yang diawalnya penonton diajak berdiri menyanyikan Indonesia Raya, sebuah pengalaman nonton yang langka.
Tetapi, dipertengahan film sampai akhir mulai banyak terlihat kekurangan kekurangannya, padahal konflik konflik dalam cerita mulai terbangun. Beberapa karakter penting dalam buku, difilm ini hanya sekilas lewat. Durasi 3 jam pun membuat penonton yang tidak membaca novelnya menjadi bosen dan kelelahan. Beberapa penonton disebelah saya satu persatu keluar sambil ngedumel karena merasa bosan dan tak ngerti. Tapi ya memang novel ratusan halaman dibuat menjadi 3 jam itupun tidak cukup mendeskripsikan novelnya secara utuh tentu saja.
Kekurangan film ini yang mencolok juga terlihat dari segi teknis. CGI yang kasar mungkin masih bisa dimaafkan mengingat teknologi kita belum semumpuni Hollywood. Tetapi set yang artifisial dan tidak natural di film ini murni kesalahan pembuat filmnya. Bangunan dan rumah semua terlihat baru, pun gapura kampung terlihat seperti baru dibangun anak KKN kemarin sore, catnya bersih. Kostumpun begitu, dari tentara belanda hingga pedagang jalanan sampai tukang kebun semua berpakaian baru dan bersih, mengingatkan kita pada sinetron laga di sebuah stasiun tv swasta. Penampakan set film seperti ini jadi bumerang, filmnya jadi terlihat low class. Saya bingung sutradara sekelas Hanung kok bisa luput pada hal hal seperti ini.
Soal cast, saya sangat mengapresiasi Sha Ine Febriyanti yang memerankan Nyai Ontosoroh, pendalaman karakternya almost perfect, piala citra menanti. Aktor lainnya yang cukup believable adalah Ayu Laksmi dan Donny Damara yang memerankan kedua orangtua Minke. Saya tidak ingin mengeritik Iqbal Ramadhan yang memerankan Minke, sebenarnya umur dan tampangnya yang pribumi sudah pas memerankan Minke, tapi entah kenapa akting Iqbal seolah trying too hard dan beberapa kali tampak sadar kamera, sesekali sorot matanya seperti ragu. Mungkin karena tekanan publik yang terlalu berekspektasi tinggi terhadap dirinya yang memerankan Minke, sehingga menjadi beban dan membuat performa aktingnya menurun dibanding ketika memerankan sosok Dilan dengan gemilang, entahlah, Iqbal benar benar tak terlihat seperti Minke yang dibuku, jomplang dengan Sha Ine Febriyanti yang seolah terlahir dan ditakdirkan menjadi Nyai Ontosoroh dalam film.
Tetapi secara keseluruhan film ini layak diapresiasi, terutama bagi generasi millenial yang hari ini mulai jarang yang mau membaca buku…
Muhammad Harir