Saya menghadiri Simposium yang diadakan oleh Makassar Biennale (03/09/2019). Simposium tersebut membahas seni rupa dan musik; serta apa yang menjadi pemisah keduanya. Beberapa dari kita, pelaku di industri ini, masih melulu soal nominal dalam rupiah. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa ujung-ujungnya duit, namun masih banyak hal yang bisa ditukarkan untuk sebuah karya. Selain itu, sekat yang dengan atau tanpa sengaja yang dibangun di antara pelaku yang satu dengan pelaku yang lain. Sekat ini bisa saja soal idealisme atau bahkan tendensi negatif terhadap pihak tertentu. Batasan-batasan ini menghalangi perkembangan dan kemajuan para pelaku. Salah satu cara agar industri ini tetap dinamis adalah dengan berjejaring, menghilangkan batas-batas dan penghalang yang tidak begitu penting.
Bukan Hanya Sekadar Tampil, Mengatur Strategi Itu Perlu.
Tentang berjejaring dan melebarkan sayap pertemanan, saya banyak belajar dari duo akustik folk minimalis, Natinson. Cerita bermula saat kami hendak bertolak ke Bali, bersenang-senang di Soundrenaline 2019. Kami bertemu di ruang tunggu. Basa-basi kami mengarah ke “apa yang hendak Natinson lakukan di sana selain sekadar tampil”. Sepuluh keping debut album mereka, Pendengar yang Baik, dipersiapkan untuk dibagikan kepada siapa saja yang menurut mereka bisa dan tepat untuk dibagikan. “Jadi ini cd sengaja dipersiapkan, terus nanti dibagi. Ini saja kita pakai CD-R dan ditulis tangan di atasnya biar kesan indie nya dapat toh.. hahahaha.. tapi covernya kita sudah persiapkan memang.” ungkap Nazar.
Rombongan Natinson (Nazar, Nasrul, Naidil, dan Hidayat) lebih memilih untuk menginap di camp. “Sebenarnya bukan tanpa alasan kita mau nginap di camp daripada di hotel. Di camp itu enak, bisa ki’ banyak berinteraksi dengan berbagai orang. Karena di camp itu yaa kita nda tau nanti ketemu dengan siapa atau berinteraksi dengan siapa. Jadi dimaksimalkan saja toh, yang penting kita berjejaring.” tambahnya. The power ov pertemanan, saya bisa nebeng satu camp dengan mereka, kebetulan camp nya maksimal lima orang. Kami disuguhkan pemandangan venue Soundrenaline 2019 yang memasuki tahap finishing. Jelas kami sangat antusias melihat-lihat sekeliling sembari berjalan menuju area camp. Sebagai first timer, maklum, gejolak jiwa untuk menjadi norak tak terhindarkan.
Mini stage menyatu dengan bar yang berada tepat di tengah area camp menghidupkan suasana. Duo akustik folk minimalis secara maksimal menyapa banyak kenalan mereka dari The All Time Tour beberapa waktu lalu. Sembari menunggu tenda dipersiapkan, kami duduk menikmati dan membiasakan diri dengan atmosfir camp yang jedagjedug ahhaayy! Di area camp untuk urusan makan, minum, dll, sungguh aman terkendali. Walaupun sudah dibekali dengan map beserta petunjuk arah dll, ternyata letak toilet dan camp terbilang jauh. Ke toilet sebelum kebelet, atau perjalanan dari camp menuju ke toilet akan menjadi perjalanan spiritual melawan diri sendiri. Menuju tengah malam, nyantai sambil rebahan di atas beanbag adalah keputusan terbaik. Tak lama berselang, petuah dari vokalis Frontxside, Indhar, yang juga bertugas di Soundrenaline 2019 saya dapatkan. “Di sini dilarang (cepat) ngantuk”. kata vokalis Hardcore ini. Karena malam itu saya memakai baju akar-akar, tiga cincin tengkorak, serta celana robek di lutut lengkap dengan patch pentagram, segera saya hilangkan kantuk itu. Malu sama tampilan tampilan yang sangar.
Dan benar, dilarang cepat untuk mengantuk di area camp. Semakin malam, semakin ramai. Salah sendiri jika tidak membuka jaringan pertemanan baru. Natinson sejak hari pertama sudah banyak melakukan interaksi dengan siapa saja. Sedangkan saya, baru memulai interaksi dengan orang-orang baru di hari kedua. Mungkin saya ini sedikit introvert.. aazzzeek!
Sedikit bercerita di hari kedua, sebelumnya Natinson sudah menuntaskan All Time Tour 2019 di tujuh titik (Bandung, Purwokerto, Semarang, Solo, Yogyakarta, Surabaya, Malang). Dari sekian grup musik yang ikut dalam tour ini, Natinson terpilih menjadi salah satu line-up di Soundrenaline 2019. Waktunya tiba, di hari kedua, Natinson tengah bersiap-siap untuk tampil di All Time Stage. Prasangka sepi penonton sempat singgah. Untungnya prasangka itu tidak lama menngganggu, karena Natinson harus segera membuka All Time Stage. Duo ini membuka penampilan dengan Bollywood Holic. Penonton pun datang mengisi venue All Time Stage, mengusir prasangka pertunjukan bakalan sepi. Natinson tetap getol menyuarakan penolakan terhadap segala macam bentuk diskriminasi. Asik mengamati suasana sekitar, saya sadar bahwa pengunjung saat itu memiliki antusias yang tinggi saat duo ini tampil. Terbukti, setiap akhir lagu yang dibawakan, venue dipenuhi riuh tawa dan tepuk tangan. Tiap-tiap wajah juga tampak sumringah. Jelas ini merupakan pertanda yang baik. Perlakuan Natinson di setiap panggung pun sama; mengajak penonton berinteraksi di lagu Ku Ingin Gondrong. Setelah menyelesaikan set, Natinson meladeni beberapa orang untuk berfoto kemudian menjalankan kembali strategi yang sudah disusun sejak awal; berkawan, dan berjejaring.
Setiap kesempatan yang diberi sudah semestinya dipergunakan dengan baik, dan setiap panggung yang dipercayakan sudah menjadi kewajiban untuk menampilkan yang terbaik. Karena kita tak pernah tahu kepada siapa karya kita akan berlabuh dan menjadi sesuatu. Agar karya itu menjadi sesuatu, hanya sekadar tampil saja tidak cukup. Mengatur strategi itu perlu!
Mulai Dari Hal yang Kecil.
Kita kembali ke hari pertama Soundrenaline 2019. Duo ini lancar benar untuk berinteraksi. Alhasil, kami duduk semeja bersama Candra, manager dari “Nostress”. Saya lantas melontar pertanyaan bagaimana para pelaku dalam skena musik di Bali bisa akur? Saya sadar itu adalah pertanyaan yang receh. “Kami di sini saling membantu satu sama lain. Banyak hal yang kami kerjakan bersama-sama. Contohnya dalam proses pembuatan video klip, kami mengajak para videografer juga fotografer untuk menggarap (video klip) ini bersama-sama. Tapi sebelumnya kami sudah bicarakann dulu bagaimana sistemnya biar kerjanya enak. Kami pun di sini kalau menggarap sesuatu tidak lihat siapa dari mana. Untuk soal gesekan-gesekan, di sini kan kecil, jadi unuk apa. Pokoknya kalau mau, yaa ayok. Contoh kecilnya ya dengan ngeshare kegiatan atau info apapun yang dilakukan oleh teman-teman kami. Ngeshare di sosmed kan gratis, tidak susah.” ujar Candra.
Apa yang dilakukan oleh kawan-kawan di Bali bukan hal yang baru dan sulit. Terkesan remeh, namun kita nampaknya mesti lebih memperhatikan hal-hal kecil sebelum memimpikan dan membicarakan hal yang besar. Saya percaya akan kekuatan komunikasi yang baik mampu meruntuhkan sekat, tembok tak kasat mata, atau apapun itu yang menghalangi. Kota ini begitu kecil, segala tindak tanduk, baik atau buruk cepat beredar dan berputar. Persaingan akan terus ada dan pilihan menjadi dewasa sepenuhnya ada di tangan kita. Kota yang kecil akan terasa dan menjadi besar jika tiap pelaku industri kreatif berjejaring. Karena berjejaring adalah kunci.