Kilas balik ke tahun 2004 silam, sebuah masa di mana sekelompok anak muda di kota Solo, yang dikenal luas sebagai kota dengan budaya kehidupan bermasyarakat yang lemah lembut pula santun, memulai sebuah misi akbar, sebuah misi bernafaskan nilai-nilai “pemberontakan” atas apa yang selama ini mereka cintai; musik keras.
Menempatkan kota Solo sebagai salah satu titik sentral dalam peta musik keras nasional saat itu rasanya terlalu naif dan terdengar seperti angan-angan setinggi langit. Meski dilanda banyak keraguan, nyali yang kadung terbakar serta semangat revolusioner tak kenal gentar pada akhirnya berhasil melahirkan Rock In Solo.
Sebuah festival yang sukses terselenggara dengan modal kerja keras dan etos gotong-royong yang dijunjung tinggi dari banyak komunitas di sana. Dari sebuah gedung olahraga yang disulap secara dadakan menjadi arena pementasan musik keras dengan berbagai macam jenis di dalamnya, hingga berhasil didaulat sebagai agenda kota berskala nasional dengan jumlah pengunjung yang kian massif di setiap pelaksanaannya.
Rock In Solo sebagai simbol harapan serta mimpi atas nilai-nilai yang diyakini dan dipegang teguh, membuktikan dirinya dengan gagah. Sejak tahun 2004, Rock In Solo mencapai edisi kesembilannya di tahun 2015 lalu. Sebuah angka yang menakjubkan tentunya bila bicara dalam konteks pelaksanaan festival musik arus pinggir. Konsistensi yang dijadikan bensin utamanya jelas terasa tidak main-main.
Meski setelahnya sempat hiatus dalam jangka waktu yang belum ditentukan, geliatnya kini coba dipantik kembali. Setelah badai pandemi yang membuat banyak lini porak-poranda dalam beberapa waktu terakhir, Rock In Solo merasa harus kembali. Mereka menyiapkan dengan seksama sebuah pesta temu kangen di gelanggang tubruk.
Tantangan yang dihadapi saat ini jelas lebih besar. Sambil menunggu marwah dari kata “festival” benar-benar bisa dikembalikan lagi ke habitatnya, Rock In Solo mencoba beradaptasi dengan keadaan saat ini, yang tentunya diharapkan bisa sepenuhnya pulih walau secara perlahan. Oleh karena itu, sebuah panggung pemanasan bertajuk Apokaliptika: A Journey of Rock In Solo dinyatakan siap digelar pada tanggal 18 Desember 2021 di Convention Hall Terminal Tirtonadi, Solo.
Apokaliptika: A Journey of Rock In Solo sendiri adalah bagian dari semesta Rock In Solo yang bukan berbentuk festival, melainkan sebuah pertunjukan musik. Acara ini ditujukan sebagai transisi menuju gegap gempita Rock In Solo ke-10 yang rencananya akan berlangsung pada tahun 2022 mendatang.
Dengan mengangkat tema besar musik perubahan peradaban karena terinpirasi dari kondisi yang melanda dunia dalam dua tahun belakangan, Apokaliptika: A Journey of Rock In Solo juga coba memposisikan diri sebagai bentuk usaha yang nyata dari doa-doa baik agar keadaan pagebluk segara enyah dan kehidupan berjalan normal seperti sedia kala.
Nantinya, Apokaliptika: A Journey of Rock In Solo akan menampilkan wajah kota Solo dalam bentuk yang garang pula brutal melalui Down For Life, sang putra baja kebanggaan. Tidak ingin tampil sendiri dan tahu benar bahwa Solo adalah kota dengan budaya yang kaya, Down For Life akan berkolaborasi dengan sederet musisi dan seniman Solo lainnya selama 90 menit waktu berlaga.
Gondrong Gunarto dipercaya sebagai pengiring penampilan mereka dengan komposisi musik kontemporernya yang apik, serta Luluk Ari yang selalu menghipnotis setiap penonton melalui gerakan koreografinya juga dilibatkan.
Down For Life yang dibanyak kesempatan sering berbicara tentang regenerasi musik di Solo, juga telah menunjuk beberapa calon pemegang estafet semangat ini untuk turut berkontribusi. Ada Djiwo, Pinthus dari band Bandoso, dan Kokom dari band Panadoid Despire secara khusus disiapkan sebagai vokalis tamu dalam repertoir Down For Life nanti. Tidak hanya itu, musisi keroncong Endah Laras, Doel dari band Pecas Ndahe sekaligus komedian ulung, sinden Whawin Laura dan gitaris DD Crow dari Roxx juga akan ikut meramaikan pentas.
Apokaliptika: A Journey of Rock In Solo rencananya akan diadakan dalam dua format, secara online dan offline. Mereka menjanjikan sebuah perpaduan tata ruang yang apik dengan sajian visual serta bunyi yang megah hasil kawin silang dari musik keras, gamelan kontemporer, dan performing art.
Tiket pertunjukan Apokaliptika: A Journey of Rock In Solo sendiri dibanderol seharga Rp 50.000,- dengan syarat tambahan bagi para penonton yang berencana untuk menyaksikannya secara langsung berupa hasil negatif pada swab test Antigen dalam kurun waktu 1×24 jam sebelum acara berlangsung, sudah tervaksin minimal satu kali, dan scan barcode di aplikasi Peduli Lindungi. Kapasitas venue juga hanya akan diisi sebanyak 30% dari total kapasitas, sesuai dengan peraturan dari pemerintah daerah Surakarta.
Karena aspek kesehatan dan keamanan menjadi salah satu yang paling diutamakan dalam Apokaliptika: A Journey of Rock In Solo, para penonton yang hadir nantinya tidak diberkenankan untuk menyaksikan pertunjukan secara berdiri, melainkan duduk di tempat yang telah disediakan dan ditata sedemikian rupa sesuai dengan protokol kesehatan yang berlaku.